SULBAR-KABARTA.COM, MAMUJU – Sengketa agraria antara masyarakat dan tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit di bawah naungan PT Astra Agro Lestari Tbk kembali memanas.
Advokat Hasri, SH., MH., selaku kuasa hukum warga terdampak, membantah keras pernyataan pihak perusahaan yang menyebut informasi mengenai tumpang tindih lahan tidak valid dan belum terverifikasi.
Dalam keterangan resminya, Jumat (25/4/2025), Hasri menyebut pernyataan Community Development Area Manager (CDAM) Area Celebes, Agung Senoaji, justru menunjukkan ketidakpercayaan terhadap otoritas negara, khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Kami memiliki surat resmi dari BPN yang dengan tegas menyatakan bahwa sebagian besar tanaman sawit milik perusahaan berada di luar batas legal HGU. Dalam surat tersebut tercantum nama desa dan luasan lahan secara detail. Ini bukan dugaan, tapi data negara. Jadi jika pernyataan Astra meragukan informasi tersebut, itu artinya mereka secara tidak langsung meragukan integritas lembaga negara,” tegas Hasri.
Pernyataan Agung sebelumnya menyebut bahwa dokumen Hak Guna Usaha (HGU) bersifat rahasia dan hanya dimiliki oleh BPN.
Namun, Hasri menilai hal itu merupakan bentuk disinformasi dan menyesatkan publik.
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan sejumlah regulasi dan putusan hukum, data HGU secara jelas dikategorikan sebagai informasi publik.
Beberapa dasar hukum yang disampaikan antara lain:
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya Pasal 11 ayat (1) huruf (b), menyebutkan bahwa badan publik wajib menyediakan informasi yang berkaitan dengan kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas. Informasi HGU termasuk dalam kategori ini.
Kemudian putusan Mahkamah Agung No. 121 K/TUN/2020, yang menolak kasasi Kementerian ATR/BPN dan menegaskan bahwa dokumen HGU bukan termasuk informasi yang dikecualikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 2/PUU-XII/2014, yang menyatakan bahwa informasi agraria, termasuk dokumen HGU, merupakan bagian dari informasi publik.
Permen ATR/BPN No. 6 Tahun 2018, yang memasukkan HGU dalam kategori informasi yang wajib diumumkan secara berkala oleh lembaga pertanahan.
Putusan Komisi Informasi Pusat: Informasi yang terdapat dalam dokumen izin HGU merupakan informasi publik berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU Keterbukaan Informasi Publik
“Jadi, narasi bahwa HGU adalah dokumen rahasia tidak memiliki dasar hukum. Klaim sepihak seperti itu tidak hanya keliru, tetapi juga memperlihatkan upaya perusahaan untuk mengaburkan fakta dan menghindari akuntabilitas publik,” tegas Hasri.
Tak hanya itu, Hasri juga mengungkap bahwa di sejumlah desa, warga yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) mengaku tidak pernah melepaskan lahannya kepada perusahaan. Bahkan, banyak dari SHM tersebut telah terbit lebih dahulu daripada HGU milik perusahaan.
“Secara hukum, jika ada tumpang tindih antara SHM dan HGU, maka harus dilihat asas prioritas. Sertifikat yang terbit lebih dahulu harus diakui dan dihormati. Ini prinsip dasar dalam hukum agraria kita,” tambahnya.
Hasri menilai, klaim perusahaan bahwa seluruh proses perolehan HGU telah sah dan mendapat persetujuan masyarakat, tidak sepenuhnya sesuai fakta lapangan. Ia juga menyoroti bahwa tidak semua proses pembebasan lahan dilakukan secara transparan dan partisipatif.
“Kalau mereka merasa benar, silakan buka data HGU-nya. Tunjukkan transparansi. Jangan berlindung di balik klaim administratif sambil meragukan data resmi dari BPN,” ujarnya.
Sebagai langkah lanjutan, Hasri menyatakan pihaknya tengah menyiapkan upaya hukum secara menyeluruh, mulai dari gugatan perdata, laporan pidana, hingga permohonan pembatalan HGU yang diduga terbit secara cacat prosedur.
“Kami tidak akan mundur. Jika tidak ada itikad baik dari pihak perusahaan, kami akan lawan ini melalui jalur hukum. Sengketa ini bukan hanya soal lahan, tetapi soal kedaulatan hukum dan keadilan agraria,” tutupnya.(*)